Seni Bukan Lagi Tuntunan Tapi Tontonan
Bagaimana hari ini seni kembali kepada fungsinya ?, agar aplikasi dari “pelestarian Seni Budaya” yang selalu di kumandangkan oleh banyak orang diantaranya kita tidak terjebak pada rutinitas event “indrustri” yang pada hari ini jelas-jelas tidak mensejahterakan. Konsep event yang kini selalu digulirkan adalah konten warisan budaya colonial, yang meletakan kesenian dijadikan alat menyambut “gegeden para raja” atau pejabat tinggi Negara. Agar para pejabat ini senang dan “terhibur”.
Pada masa pemerintahan colonial, Bandung pernah menggelar “event” untuk menyambut para borjuis “gula” dari Jawa bagian timur, dengan cara mempersembahkan perempuan-perempuan cantik dari Pangalengan yang kemudian Bandung di klaim menjadi kota kembang. Apa bedanya dengan hari ini?
Warisan cara seperti ini menjadi popular di masyarakat hari ini, seni yang mempertunjukan eksotisme kecantikan atau ketampanan. Buruknya lagi seni seperti demikian dinikmati banyak orang hari ini. Bukan saja para borjuis seperti halnya pada masa lalu, tetapi semua lapisan masyarakat.
Pergeseran nilai tersebut nampak pada tayuban, yang pada awalnya tayub adalah tarian nenek keriput (dukun) atau ahli spiritual perempuan yang melambangkan sosok kesuburan, diganti dengan tarian para perempuan muda dan seksi pada masa raja-raja yang berkonspirasi dengan para komprador “penjajah”. Akhirnya tayub dipahami sebagai tarian penggoda lelaki yang berujung keretakan rumah tangga.
Fenomena ini melekat kuat hari ini pada dunia indrustri seni;music, film, TV dan seterusnya. Jangan menutup mata dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada “artis”. Untuk mencapai popularitas para artis rela memberikan apapun yang dimilikinya sekalipun itu harga diri dan kehormatannya. Mungkin tidak semua!.
Bukan talenta dan bakat seni saja yang kini menjadi modal untuk popular, tetapi kecantikan dan kesedian menemani para bos di karoke atau pub, minum-minum di vila dan seterusnya, selepas dari rutinitas kerja “seni” nya. Agar terus mendapat pekerjaan dan ke populerannya, tidak saja perempuan begitu pula laki-laki. Hari seni bukan saja menjadi ajang “penghibur semata”, seni menjadi ajang memperkaya pula bagi segelintir orang, faktanya banyak seniman di daerah yang tetap tidak terjamin dan hidup dibawah garis kemiskinan. Tak ada event tak dapat uang.
Apakah ini yang dimaksud dengan pelestarian budaya yang selama ini di programkan?
Artinya Negara tidak mampu menjamin para seniman, seperti halnya pada masa para raja sebelum para komprador “penjajah” bercokol di negeri ini. Bayangkan 350 tahun yang terhitung tanah ini di obrak-abrik oleh bangsa luar, demikian dengan seni dan budayanya. Ditambah hari ini Negara yang tetap mewarisi system ketatanegaraan colonial.
Hari ini kita tidak mampu mengembalikan fungsi seni sebagai tuntunan.
Tuntunan untuk mengelola Negara, masyarakat, keluarga. Mengelola tanahnya yang subur, airnya yang bersih, kekayaan alam nya yang melimpah ruah.
Kemana saja SANG SUNDA? Tegakan TRI TANGTU….!
Penulis adalah Ketua Masyarakat Sejarah Kendan
Pada masa pemerintahan colonial, Bandung pernah menggelar “event” untuk menyambut para borjuis “gula” dari Jawa bagian timur, dengan cara mempersembahkan perempuan-perempuan cantik dari Pangalengan yang kemudian Bandung di klaim menjadi kota kembang. Apa bedanya dengan hari ini?
Warisan cara seperti ini menjadi popular di masyarakat hari ini, seni yang mempertunjukan eksotisme kecantikan atau ketampanan. Buruknya lagi seni seperti demikian dinikmati banyak orang hari ini. Bukan saja para borjuis seperti halnya pada masa lalu, tetapi semua lapisan masyarakat.
Pergeseran nilai tersebut nampak pada tayuban, yang pada awalnya tayub adalah tarian nenek keriput (dukun) atau ahli spiritual perempuan yang melambangkan sosok kesuburan, diganti dengan tarian para perempuan muda dan seksi pada masa raja-raja yang berkonspirasi dengan para komprador “penjajah”. Akhirnya tayub dipahami sebagai tarian penggoda lelaki yang berujung keretakan rumah tangga.
Fenomena ini melekat kuat hari ini pada dunia indrustri seni;music, film, TV dan seterusnya. Jangan menutup mata dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada “artis”. Untuk mencapai popularitas para artis rela memberikan apapun yang dimilikinya sekalipun itu harga diri dan kehormatannya. Mungkin tidak semua!.
Bukan talenta dan bakat seni saja yang kini menjadi modal untuk popular, tetapi kecantikan dan kesedian menemani para bos di karoke atau pub, minum-minum di vila dan seterusnya, selepas dari rutinitas kerja “seni” nya. Agar terus mendapat pekerjaan dan ke populerannya, tidak saja perempuan begitu pula laki-laki. Hari seni bukan saja menjadi ajang “penghibur semata”, seni menjadi ajang memperkaya pula bagi segelintir orang, faktanya banyak seniman di daerah yang tetap tidak terjamin dan hidup dibawah garis kemiskinan. Tak ada event tak dapat uang.
Apakah ini yang dimaksud dengan pelestarian budaya yang selama ini di programkan?
Artinya Negara tidak mampu menjamin para seniman, seperti halnya pada masa para raja sebelum para komprador “penjajah” bercokol di negeri ini. Bayangkan 350 tahun yang terhitung tanah ini di obrak-abrik oleh bangsa luar, demikian dengan seni dan budayanya. Ditambah hari ini Negara yang tetap mewarisi system ketatanegaraan colonial.
Hari ini kita tidak mampu mengembalikan fungsi seni sebagai tuntunan.
Tuntunan untuk mengelola Negara, masyarakat, keluarga. Mengelola tanahnya yang subur, airnya yang bersih, kekayaan alam nya yang melimpah ruah.
Kemana saja SANG SUNDA? Tegakan TRI TANGTU….!
Penulis adalah Ketua Masyarakat Sejarah Kendan
Komentar
Posting Komentar