Observasi "Nuras”



“Nuras”
Serpihan Kearifan Warisan Kendan di Nagreg


Erat sejarah kendan dengan adanya satu upacara budaya yang disebut “Nuras”, sebuah ritual “ruwatan” di sumber mata air yang berada di Kp. Nenggeng, sebelah utara Kec.Nagreg, mata air tersebut mengalir dari kawasan lindung yang terletak dalam kawasan Desa Citaman, yaitu kawasan lindung yang pada masa lalu disebut sebagai “hulu alas”. Daerah ini bersebelahan dengan Kp. Pamujaan yang tercatat dalam beberapa temuan pencatat perjalanan; diantaranya Plyete dan Tom Piere, mereka menyatakan pernah ditemukan sebuah arca durga kecil 500 M ke utara dari stasiun Nagreg. Bukti pernah adanya satu kepercayaan yang berkembang di daerah ini atau sebuah bangunan sejarah.
Dari mata air dengan debit lebih dari 10lt/detik ini, masyarakat mengairi lahan kebun, sawah bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Nikmat sejahtera dari adanya mata air Nenggeng, sejak dulu mereka wujudkan dalam sebuah bentuk syukuran yang bernama “Nuras”(dalam bahasa sunda) berarti “Namperkeun cai” atau menjernihkan air dengan cara dibiarkan mengendap kotorannya.
Namun pada pealaksanaanya merawat air dengan “Nuras”, penuh dengan aktifitas, bukan dibiarkan begitu saja, seperti halnya mengendapkan kotoran atau lumpur dalam air, tetapi melakukan aktifitas membersihkan mata air dan saluran-salurannya, mengangkat kotoran dan lain sebagainya.
Setiap awal musim hujan ditempat ini sering dilakukan upacara sakral;memuji sukur terhadap penguasa alam beserta isi. Amitsun atau meminta izin kepada penguasa alam beserta isinya, demikian masyarakat menyebutnya. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan saluran mata air agar airnya mengalir dengan baik.
Pada puncak upacara masyarakat menyembelih seekor kambing hitam, untuk kemudian dagingya dinikmati bersama oleh masyarakat. Upacara ini sudah jarang dilakukan, tetapi 2004 atas prakarsa kepala Desa saat itu Bpk. Endang Sukarya dan pemerintahan Kecamatan atas lalu kembali dilakukan. Upacara tafakur yang pada intinya bersyukur kepada yang Kholik bahwa telah diberi berkah dan kesejahteraan yang melimpah dengan hadirnya air ini.


Dalam Kropak - kropak

“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara didalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ). Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.
Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara “Patanjala”, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.
Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara “Nuras” sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala ( air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri ( Padi ).


17 Oktober 2009
Bob Ujo
Ketua Observasi "Nuras"

Komentar

Postingan Populer